Powered by Blogger.
RSS

Fanfiction: Hogwart Pertamaku

Aku dan kedua orang tuaku berjalan beriringan di koridor stasiun kereta api King Cross, London. Troli bermuatan koper dan perlengkapan sekolahku, didorong ibuku. Kucing berbulu cokelat tanah peliharaanku, Yiha, sedang tidur melingkar di dalam kandang. Berkali-kali terkejut ketika berpapasan dengan orang asing.

Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah sihir Hogwart. Hari yang dinanti-nanti oleh setiap anak keluarga penyihir, yang genap berusia 11 tahun sebelum tanggal 1 September. Sangat mendebarkan. Dan momen pertama yang aku nantikan adalah menyeberang tembok diantara peron 9 dan 10 untuk masuk ke gerbang peron 9 ¾. Yang mana peron tempat Hogwart Express berangkat.

Di peron 9 ¾, kami disambut hangat oleh keluarga penyihir lain yang merupakan rekan ayahku. Anak mereka yang kedua juga masuk tahun pertama Hogwart. Aku kenal anak perempuan berambut hitam sepunggung itu. Kami sempat beberapa kali bertemu di pertemuan rutin ayah. Dan antara orang tuaku dan orang tuanya, sepakat kami harus berteman di Hogwart. Namanya Anggi.

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku dan Anggi menyusuri koridor kereta Hogwart Express untuk mencari kompartemen kosong. Namun, kami tidak juga menemukan hingga peluit kereta berbunyi. Menandakan kereta hendak meluncur ke Hogwart. Jadi kami memutuskan masuk ke kompartemen yang hanya berisi satu anak. Anak perempuan berambut ikal sepundak.

Aku dan Anggi sibuk meletakkan koper kami di atas kompartemen. Anak perempuan itu hanya melihat kami dengan tatapan penasaran. Matanya yang bulat, memenuhi rongga matanya, sehingga tampak seperti melotot.

“Hai, apa kamu murid baru juga?” Anggi bertanya  pada perempuan itu. Anak perempuan itu hanya mengangguk.

“Namaku Anggi.” Anggi  memperkenalkan diri. “Dan ini temanku, Fajar. Kami juga murid baru Hogwart. Tahun pertama.”

“Namaku Rida.” Anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah kami. “Senang bisa mengenal kalian.” Nada bicaranya terlampau sopan. Khas sepeti bangsawan. Ia mencengkeram tongkat sihirnya dengan kuat. Seolah waspada kalau-kalau kami merebutnya.

Sementara kereta berjalan, aku dan Anggi  berbincang-bincang berdua membahas tongkat sihir baru kami. Tongkatku yang terbuat dari kayu elm dengan inti nadi jantung naga, tidak kalah dengan tongkat hawthorn dengan inti rambut unicorn milik Anggi. Anggi mengaku takut dengan Mr. Olivander, penjual tongkat sihir di Diagon Alley. Kami juga membeli beberapa makanan kecil dari troli penjaja makanan di kereta. Kami hanya membeli beberapa cokelat kodok dan kacang segala rasa Bertie Bott’s. Aku sedikit mual ketika tidak sengaja memakan kacang rasa kotoran telinga. Rida masih terus mengamati kami sambil mencengkeram tongkatnya.

“Mungkin aku akan masuk Ravenclaw. Ayahku Ravenclaw dan ibuku muggle.” Aku berkata tanpa keyakinan. Bingung.

“Ayah dan ibuku Hufflepuf, pasti aku juga sama seperti  mereka.” Anggi menjawab dengan antusias. “Kalau kau ingin masuk asrama mana?” Anggi menunjuk Rida.

“Maksudnya?” Rida balik bertanya. “Masuk apa?”

Aku dan Anggi saling pandang. Terkejut. Namun kami  langsung tahu apa yang kami hadapi.

“Apa kau berasal dari keluarga muggle?” Aku bertanya ragu.

Rida masih bertanya-tanya. Itu menandakan bahwa ia benar-benar berasal dari keluarga muggle. Jadi, dengan terpaksa aku dan Anggi menjelaskan sedikit dan singkat tentang Hogwart, asrama-asrama, dan beberapa mata pelajaran. Rida sangat antusias. Dan sejak saat itu, kami bertiga akrab. Mungkin akan menjadi teman dekat di Hogwart. Itupun kalau kami masuk ke asrama yang sama.

Malam datang tanpa terasa. Artinya tidak lama lagi kereta akan sampai di stasiun Hogsmead, desa penyihir di dekat Hogwart. Kami bergegas menurunkan barang-barang, berkemas, mengenakan jubah, dan bersiap turun dari kereta. Jantung berdebar. Cemas dan takut menggerogotiku. Sepertinya juga dirasakan oleh Anggi , apalagi Rida.

Kereta berhenti. Peluit lagi-lagi mengejutkanku. Diikuti oleh suara pintu-pintu kompartemen yang digeser. Kaki-kaki berhamburan keluar. Anggi menyuruh kami untuk tidak keluar dari kompartemen sebelum ada komando dari para Prefek. Kakak Anggi adalah salah satu Prefek Hufflepuf, jadi ia pasti sudah diberitahu. Prefek adalah ketua asrama. Masing-masing asrama mempunyai setidaknya dua orang Prefek.

“Kelas satu! Kelas satu!” Terdengar suara teriakan dari luar kereta. Anggi langsung mengisyaratkan untuk keluar. Itu adalah salah satu Prefek. Aku agak jengkel. Apa yang dipikirkan oleh kakak Anggi sampai melarang Anggi keluar dari kompartemen? Keluar dari kereta sekalipun, Anggi juga bisa menemukan Prefek. Kalau nasib kami buruk, mungkin kami akan dibawa kereta, balik lagi ke London. Ceroboh.

Aku, Anggi dan Rida bergabung dengan kerumunan anak kelas satu lain. Dengan dipandu para Prefek, kami berjalan menuju danau. Anak kelas satu memang diwajibkan melewati danau untuk sampai ke Hogwart, menggunakan perahu sampan. Sementara anak kelas dua ke atas, menunggangi semacam kereta kuda tanpa kuda. Bergerak sendiri tanpa ada yang menariknya.

Di pinggir danau, rombongan dikejutkan oleh sesosok manusia raksasa bertubuh besar, rambut gondrong, berewokan dan matanya memincing seperti kumbang. Beberapa anak ketakutan melihatnya, termasuk  Rida. Namun, para Prefek berhasil mengendalikan situasi dan memperkenalkan raksasa tersebut. Dia adalah Hagrid. Ia adalah penjaga kunci Hogwart sekaligus guru Satwa Gaib. Hagrid akan memandu rombongan kelas satu menyeberangi danau.

Aku, Anggi dan Rida memutuskan untuk naik perahu yang sama. Kami mendapatkan perahu di deretan paling ujung. Sudah ada satu anak laki-laki di atas perahu tersebut. Ia membawa lampu api yang sudah dibagikan Hagrid. Anak laki-laki itu terlihat murung. Matanya mendelik pada kami bertiga. Ia agak beringsut ke arah depan ketika kami bertiga masuk ke dalam perahu.

“Hai, namaku Anggi.” Anggi menjulurkan tangan kepada anak laki-laki itu.

“Bryan,” jawab anak laki-laki itu. Tepat di saat perahu mulai bergerak.

Kami saling berkenalan.

Perahu berjalan pelan menuju Hogwart. Menyusuri kelamnya Danau Hitam. Semua mata anak kelas satu tertuju pada kastil Hogwart yang menjulang tinggi di depan. Jendela-jendela kastil memancarkan cahaya berwarna kuning cerah, bila dilihat dari jarak itu. Laksana kue hitam berhias ribuan lilin. Beberapa anak berceloteh dan berteriak kegirangan. Kami tidak memperhatikan air di bawah perahu. Entah ada ikan, monster air, duyung, atau makhluk lainnya. Bryan bercerita, bahwa ayahnya sewaktu kecil dulu tidak sengaja tercebur ke danau, dan diselamatkan oleh Grindylow. (Ayahnya Bryan pasti bercanda, sejak kapan Grindylow bersahabat dengan penyihir?)

Sesampainya di tepi, semua anak kelas satu digiring menuju pintu masuk kastil. Kami berhenti di sebuah tangga besar yang menuju pada pintu kayu yang tidak kalah besarnya. Seorang perempuan tua muncul dari balik pintu. Ia mengenakan baju panjang berwarna hijau zamrud dan topi lancip. Mulutnya mengerucut menyambut anak-anak kelas satu. Namanya Minerva McGonagall. Ia menjelaskan secara singkat tentang apa yang akan kami lakukan selanjutnya.

“Semuanya, ikuti aku!” McGonagall berjalan menuju pintu kayu raksasa yang sekarang sudah terbuka.

Rombongan kelas satu mengikuti McGonagall seperti anak itik yang mengekor induknya. Melintasi ruangan besar yang disebut Great Hall. Ternyata semua siswa kelas dua ke atas sudah duduk rapi di mejanya masing-masing. Termasuk para staff Hogwart di depan. Semua mata tertuju pada rombongan kelas satu.

Anggi sudah sibuk menjelaskan lilin-lilin yang mengapung di langit-langit, dan juga langit-langit yang menyesuaikan dengan kondisi langit yang sesungguhnya, kepada Rida. Sementara aku dan Bryan mencoba membuktikan ucapan orang tua kami tentang lilin-lilin yang tidak bisa meleleh itu.

“Aku tidak sabar menunggu hari di mana lilin itu meleleh dan mengenai wajah salah satu siswa.” Bryan tertawa kecil.

“Aku penasaran mantra jenis apa yang bisa membuat lilin itu?” Aku menyela. “Mungkinkah di Diagon Alley ada lilin seperti itu?”

“Tentu saja tidak. Genius Dumbledore, tidak ada yang tidak bisa dilakukannya.” Anggi tiba-tiba masuk ke percakapan kami.

McGonagall menghentikan rombongan kelas satu. Ia berdiri di dekat kursi kayu tua, di mana ada topi kerucut aneh di atasnya. Satu lagi yang dapat aku buktikan dari omongan ayahku. Topi seleksi. Topi compang-camping tua yang dapat bicara dan bernyanyi. Akan menyeleksi satu-persatu anak baru ke asrama yang cocok.

“Anggi!” McGonagall berteriak. Memanggil satu-persatu anak kelas satu sesuai abjad.

Anggi keluar dari rombongan, menuju topi seleksi. Kemudian ia duduk di kursi itu. Sementara McGonagall menaruh topi seleksi di kepala Anggi. Topi itu benar-benar berbicara. Beberapa anak terpukau. Topi itu bergumam entah apa, kami tidak mendengarnya. Dan di ujung gumamannya, ia berteriak dengan lantang...

“HUFFLEPUFF!”

Detik itu juga, siswa lama Hogwart di salah satu meja bersorak bersama-sama. Jelas, bahwa mereka adalah anak-anak Hufflepuff lain. Menyambut anggota baru. Anggi berlari kecil menuju meja itu dengan gembira.

Bryan mendapat giliran keempat setelah Anggi. Topi seleksi menempatkannya ke Gryffindor. Aku antara tidak sabar dan grogi menunggu giliran. Cemas kalau-kalau aku mendapatkan asrama yang tidak cocok denganku. Namun, ayah bilang bahwa topi seleksi tahu mana yang terbaik untuk kita. Walaupun begitu, aku tetap cemas hingga giliranku datang.

Rasa cemas, grogi dan keraguan serasa hilang ketika aku berjalan menuju topi seleksi. Duduk di kursi kayu itu dengan topi seleksi di kepalaku. Topi itu berbau apek. Beberapa debu jatuh ke mataku. Dan topi itu terasa longgar, cenderung terlalu besar untuk kepalaku.

“Kamu cukup cerdas.” Topi seleksi mulai bicara. Aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas. “Kamu akan cocok bila bergabung dengan para cendekiawan di...”

“RAVENCLAW!”

Anak-anak Ravenclaw bersorak. Namun, hanya perasaanku saja atau memang teriakan anak Ravenclaw tidak semeriah anak Hufflepuff, apalagi Gryffindor. Aku sangat lega. Akhirnya aku bisa masuk asrama Ravenclaw seperti ayahku. Aku langsung duduk di meja Ravenclaw. Anak-anak Ravenclaw menyambutku dengan hangat. Sehingga aku tidak memperhatikan seleksi selanjutnya. Hingga tiba giliran Rida yang masuk asrama Gryffindor bersama Bryan.

Setelah proses seleksi selesai, Albus Dumbledore sang kepala sekolah Hogwart, menyambut para siswa dengan pidato singkat dan padat. Kemudian ribuan makanan beraneka ragam, seketika itu juga muncul di atas meja, setelah Dumbledore menutup sambutannya. Mulai dari ayam panggang hingga puding labu tersedia di sana. Aku tidak sadar bahwa perutku sangat lapar sejak aku turun dari kereta. Aku melahap beberapa potong roti panggang dan ayam goreng.

Ternyata keterkejutanku tidak sampai di situ saja. Beberapa saat kemudian, makhluk-makhluk transparan berhamburan masuk ke dalam Great Hall. Satu diantaranya menyambangi meja Ravenclaw. Ia adalah Grey Lady, hantu penunggu asrama Ravenclaw. Grey Lady tampak sangat cantik untuk ukuran hantu. Sejenak aku mengamati hantu asrama lain. Ada Nearly-Headless Nick De Mimsy-Porpington, sang hantu asrama Gryffindor, yang sedang pamer kepalanya yang nyaris putus kepada anak-anak baru Gryffindor. Atau Bloody Baron, hantu asrama Slytherin, yang tampak dingin dan licik seperti anak-anak Slytherin. Dan sepertinya Anggi sedang digoda oleh hantu asrama Hufflepuff, Fat Friar.

Makan malam usai. Semua siswa kembali ke asrama masing-masing. Prefek Ravenclaw mendampingi anak baru Ravenclaw untuk menuju asrama. Asrama Ravenclaw terletak di menara Hogwart. Jadi, kami harus melewati tangga kastil yang dapat bergerak berpindah-pindah. Prefek mengingatkan harus berhati-hati dalam memilih tangga bila tidak ingin salah tujuan. Dan akhirnya, aku mendapatkan kamar di asrama Ravenclaw.

To be continue (semoga)

PS.
Semua aset sepenuhnya milik  J. K. Rowling.
Maaf bagi nama-nama yang memang sengaja aku pakai. :v

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemburu Pekerjaan

Suasana malam kota yang begitu hingar, tidak membuat Arimbi, seorang gadis berumur 25 tahun berparas rupawan, membuang wajah muramnya. Kebanyakan orang beranggapan tidak pantas seorang perempuan muda berjalan sendirian di tengah malam. Namun tidak dengan Arimbi. Tuntutan akan kebutuhan membuatnya lebih ekstra menguras keberanian dan tenaga, kerja siang dan malam.
Di sebuah trotoar pinggir jalan raya yang dipenuhi para penjaja santap malam, Arimbi duduk. Tidak sedikitpun ia tergoda dengan makanan-makanan yang menggugah selera tersebut. Walau ia belum makan sejak sore tadi, ia tidak sedikitpun menghiraukan perutnya. Sebuah kertas tagihan hutang terbentang di pangkuannya. Dengan wajah muram ia membaca kalimat-kalimatnya beberapa kali. Bulan ini ia harus membayar cicilan hutang orang tuanya sebesar Rp. 500.000. Belum lagi dengan tanggungan sekolah kedua adik kembarnya yang masih duduk di bangku SMA. Semenjak ayahnya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan kerja, ia menjadi tulang punggung keluarga.
Sebuah air mata letih tiba-tiba menitik di kertas tagihan tersebut. Hari itu ia menerima gaji bulanan, hasil kerjanya menjadi karyawan di sebuah pabrik tekstil di kota. Gaji untuk bulan itu ia dapatkan seminggu lebih awal dari biasanya. Gajinya yang hanya delapan ratus ribu, hanya cukup untuk mencicil hutang dan membayar sekolah kedua adiknya. Gaji darinya menjadi seorang pelayan kafe malam, baru keluar satu minggu lagi. Itupun hanya cukup untuk makan dan kebutuhan lainnya selama sebulan. Belum untuk membeli obat untuk ibunya yang menderita penyakit jantung, yang jelas tidak murah. Dan juga bayar sewa kontrakan rumah yang sudah nunggak tiga bulan.
Arimbi bingung. Ia tidak tahu harus mencari uang kemana lagi untuk membeli obat ibunya. Biasanya ia rela menjadi buruh cuci di beberapa rumah setiap hari Kamis, hari di mana ia libur kerja pabrik. Namun tidak lagi setelah kejadian memalukan itu terjadi. Karena kakak laki-lakinya, Bima, sering mengikutinya ketika ia mengambil cucian di beberapa rumah dan sudah beberapa kali kepergok mencuri di rumah itu juga. Alhasil sang pemilik rumah enggan untuk mencuci baju ke Arimbi. Dan sekarang Bima harus mendekam di hotel prodeo selama lima tahun karena banyaknya tuduhan mencuri yang diajukan.
Ternyata bukan kertas tagihan yang membuatnya menitikkan air mata. Melainkan kertas lainnya yang ada di balik kertas tagihan. Ia membaca surat itu. Sebuah surat pemberhentian kerjanya di pabrik tekstil. Hatinya remuk dan hancur. Kesalahannya sendirilah yang membuatnya menanggung akibatnya. Ia sering datang terlambat karena sering bangun kesiangan. Bagaimanpun juga, kerja dari pagi sampai sore di pabrik dan langsung dilanjutkan menjadi pelayan kafe tanpa istirahat, sangatlah berat untuk seorang perempuan seperti Arimbi.
“Kak Arimbi harus kuat!” kata Evi, salah satu adik Arimbi suatu hari untuk menyemangati. Sebenarnya Evi dan Eva ingin sekali membantu kakaknya. Namun Arimbi melarang mereka. “Kalian tidak usah memikirkan uang. Biar kakak saja yang memikirkannya. Kalian belajar saja yang rajin.” Itulah kata-kata naif Arimbi dengan angkuhnya. Evi dan Eva sangat berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dan Arimbi dengan ketidaktahuannya menjanjikan hal itu. Sekarang ia tidak tahu harus menepati janji-janjinya dengan apa.
Keesokan harinya, Arimbi berjalan menyusuri kota seperti biasanya. Hanya saja ia tidak menuju ke pabrik tekstil tempat ia bekerja sebelumnya. Sebuah amplop besar berwarna coklat ia genggam erat dengan penuh harapan. Berisi surat-surat penting untuk melamar pekerjaan. Kebutuhan yang mendesak menuntutnya untuk mendapat pekerjaan utama yang baru secepatnya. Dengan tekat kuat ia menuju sebuah pabrik kosmetik di pinggiran kota. Arimbi mendengar ada lowongan sebagai SPG di sana. Semoga saja lowongan tersebut masih ada.
“Permisi, Mbak”, seru Arimbi kepada resepsionis. Resepsionis menyambutnya dengan ramah. “Apa lowongan SPG di pabrik ini masih ada? Saya berkeinginan untuk mengisi kekosongan tersebut.”
Resepsionis tersebut tampak membaca sesuatu dari laci mejanya. “Oh, maaf, Mbak sebelumnya. Tapi lowongan untuk SPG sudah ditutup satu minggu yang lalu.”
Arimbi keluar dengan muram. Seolah lenyaplah seluruh harapannya. Ia tidak tahu lagi harus ke mana. Ia sengaja tidak pulang, supaya ibunya tidak bertanya, “Ar, kenapa tidak kerja?” Ia tidak mau menambah beban fikiran ibunya. Namun ia tidak bisa terus-terusan di luar tanpa kerjaan, menunggu malam tiba untuk kerja di kafe.
Sambil duduk di bangku sebuah taman kota, Arimbi merenungi nasibnya. Ia teringat dengan keluarga yang sangat dicintainya. Obat ibu cuma tersisa untuk diminum dua hari. Terpaksa ia harus menggunakan sisa gaji terakhirnya untuk membeli obat. Untuk bayaran sekolah Evi dan Eva bisa nunggak dulu satu bulan. Lagipula mereka selalu membayar tepat waktu. Tapi bagaimana dengan sewa kontrakan? Ia sedih ketika Eva mengadu padanya bahwa setiap hari sang pemilik kontrakan menagih uang dengan marah-marah. Tapi untung saja sang penagih tidak ceroboh dengan menagih dirumah. Karena bila terdengar oleh ibu, penyakit jantungnya akan semakin parah karena banyak fikiran. Saking berlarutnya, ia nyaris lupa akan membayar cicilan hutang di bank. Cicilan setiap bulan selama tiga tahun. Ibunya terpaksa hutang di bank untuk membeli sepeda motor yang diidam-idamkan Bima. Namun sekarang sepeda motor itu telah tiada. Habis dimakan judi oleh kakaknya itu.
Arimbi melihat seorang remaja laki-laki menjajakan koran di sekitar taman. Ia berfikir, mungkinkah ia harus menjadi loper koran seperti anak itu kalau ia benar-benar tidak mendapatkan pekerjaan lagi? Jaman sekarang, mencari pekerjaan sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Dulu, ayahnyalah yang membantunya bisa masuk ke pabrik tekstil itu, karena ayahnya bekerja di sana. Namun sekarang ia tidak kenal siapapun yang dapat membantunya. Loper koran adalah pilihan terakhirnya.
Tunggu dulu. Tiba-tiba ia teringat akan tawaran Om Rony. Tawaran bekerja di tempatnya dengan bayaran yang cukup tinggi. Bodoh sekali dulu ia menolaknya hanya karena pengaruh teman-teman kerjanya di kafe. Kata mereka, Om Rony bukan orang baik-baik. Namun Om Rony tampak ramah sekali saat berhadapan dengan Arimbi. Ya. Arimbi akan menanyakan tawaran Om Rony.
“Kamu yakin akan keputusanmu, sweatheart?” tanya Om Rony sambil menyeringai. Ketika ia dan Arimbi berbincang di kafe tempat Arimbi bekerja malam harinya.
Dengan canggung Arimbi mengiyakan. “Ya. Saya yakin!”
Saat itu juga Om Rony langsung mengajak Arimbi ke tempat ia akan dipekerjakan. Arimbi bingung karena ia langsung diterima tanpa surat lamaran dan nyaris tanpa syarat apapun. Terpaksa ia ijin dahulu di kafe. Om Rony membawanya ke sebuah tempat mewah. Sebuah diskotik. Arimbi tidak tahu pekerjaan apa yang akan didapatnya di diskotik seperti itu. Mungkinkah ia akan menjadi pelayan seperti di kafe?
Om Rony menyuruh Arimbi berganti baju dengan baju yang disiapkan. Hal yang paling dibenci oleh Arimbi, ia harus mengenakan rok. Arimbi memang sedikit tomboy, dan rok mini merupakan salah satu pakaian yang paling ia benci. Ia sedikit kurang nyaman membayangkan pekerjaan yang didapatnya.
“Pergilah ke sana! Bersama gadis-gadis yang lain!” perintah Om Rony sambil menunjuk kerumunan gadis-gadis cantik di diskotik. “Kamu akan dibayar tinggi bila berhasil menggaet banyak pelanggan.”
Arimbi terkejut menyadari pekerjaan barunya. Ia tidak pernah menyangka akan di pekerjakan menjadi seorang wanita penghibur seperti itu. Bodohnya ia karena tidak bertanya lebih dahulu kepada Om Rony sebelum menerima tawarannya. Tuntutan akan kebutuhan yang mendesak jelas sekali telah mengacaukan fikirannya. Ingin sekali ia berlari keluar dari tempat itu. Namun ia tidak tahu harus kemana lagi. Ia terpaksa melakukannya.
Seorang laki-laki paruh baya dengan wajah nakal menghampirinya. Mengajaknya untuk ke sudut diskotik. Arimbi duduk di pangkuannya dengan ketakutan. Sementara tangan jahil laki-laki itu menggerayangi punggung Arimbi, Arimbi menyesali perbuatannya. Tiba-tiba terlintas wajah ibunya di kepalanya. Hati Arimbi merintih melihat ibunya terbaring di kamarnya sambil tersenyum sendu menatapnya.
Arimbi tertegun. Ia sadar bukan disanalah tempat yang baik untuknya. Dengan gesitnya ia melepaskan pelukan sang laki-laki nakal tersebut dan berlari keluar. Ia berlari kencang sekali untuk menjauh dari diskotik dan bersembunyi kalau-kalau dikejar Om Rony atau siapapun.
“Ibu, maafkan Ari”, rintih Arimbi sambil terengah. Ia terduduk lemas disebuah trotoar sepi di pinggiran kota. Sangat jauh jarak dari tempat itu menuju rumahnya. Mustahil ia tempuh dengan berjalan kaki. Namun ia tidak punya uang sepeserpun. Tas dan dompetnya tertinggal di diskotik. Bodoh jika ia kembali lagi untuk mengambilnya. Ia menangis di sana. Menyesali perbuatannya. Sekarang ia benar-benar tidak mempunyai pekerjaan. Karena ia tidak mau lagi balik ke kafe dan bertemu Om Rony lagi. Sekarang hidupnya benar-benar hancur bila tidak segera mendapat pekerjaan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hilang - Part 1

DENIS berjalan sendirian meyusuri jalanan yang ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang, menuju sekolahnya yang berjarak kira-kira satu kilometer dari rumahnya. Hari Minggu pagi yang biasanya ceria, tampak gundah karena hadirnya awan mendung yang hadir sejak malam. Matahari tidak berani keluar. Hanya sinar-sinarnya yang berhasil menembus tebalnya awan hitam, yang menerangi pagi itu. Tapi tidak menyurutkan niatnya untuk pergi kesekolah untuk menjalani jam pelajaran tambahan.
“Harusnya aku tidur saja di rumah”, gerutunya sambil menguap lebar. Denis benci kalau hari liburnya harus diisi dengan beberapa pekerjaan, apalagi harus sekolah. Sebenarnya ia sudah berencana hendak membolos, sejak kemarin sore. Tapi ibunya memaksanya untuk berangkat. Rencananya gagal.
Denis berjalan malas sepelan mungkin. Berniat untuk terlambat. Gurunya tidak bisa memarahinya karena terlambat, karena hari Minggu. Hari Minggu adalah hari libur. Dan artinya peraturan sekolah juga libur, walau tidak seluruhnya. Dan karena libur juga, ia tidak memakai seragam sekolah seperti biasanya. Hanya memakai T-Shirt berwarna biru muda dengan setelan celana jins panjang berwarna biru tua. Tapi untuk kesopanan, ia tetap memakai sepatu. Tas ranselnya yang biasanya berisi banyak buku, kali itu ia hanya membawa buku tulis satu buah.
Ia merasa iri dengan orang-orang yang berlalu-lalang disepanjang jalan. Berjalan-jalan bersama keluarga dan teman-temannya untuk menikmati akhir pekan. Menghabiskan satu hari liburan dalam satu minggu penuh pekerjaan dengan menikmati suasana kota yang ceria walaupun awan mendung masih terus menemani.
Denis adalah anak laki-laki berumur dua belas tahun. Bersekolah di salah satu sekolah menengah di kotanya. Walau baru tingkat pertama disekolah, tapi sudah diwajibkan untuk mengikuti jam tambahan hari Minggu. Denis adalah anak yang pendiam, cuek dengan keadaan sekitarnya. Tapi kesenangan orang-orang di hari itu tidak bisa ia hiraukan begitu saja. Denis tinggal bersama kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga jarang sekali meluangkan waktu untuknya dan adik perempuannya, Desi, kecuali pada hari Minggu. Dan Denis benci telah melewatkan momen menyenangkan itu.
Denis semakin malas ketika ia telah sampai didepan sekolahnya. Tampak beberapa anak lainnya juga berjalan memasuki gerbang dengan murung. Ini sungguh tidak adil. Sekolah itu telah memberi peraturan yang tidak wajar kepada murid-muridnya.
Denis berhenti didepan gerbang. Ia tahu kalau ia belum terlambat. Jadi ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Seperti salah perhitugan, seharusnya ia berjalan lebih pelan lagi tadi. Ia mengamati bangunan sekolah yang besar menjulang tinggi. Ada tiga lantai, dan Denis malas membayangkan kelasnya ada dilantai ketiga atau lantai teratas. Denis membayangkan kalau ia sedang berdiri didepan sebuah penjara. Kalau ia masuk kesana, ia tidak bisa keluar lagi. Awan hitam yang tebal diatas bangunan menambah kesan seram.
Setelah dirasa sudah cukup terlambat, Denis akhirnya berjalan memasuki sekolahnya. Kalau hari biasa, gerbang akan ditutup oleh penjaga. Dan karena hari Minggu, gerbang tidak ditutup karena penjaga sedang libur, tentu saja. Dan itu membuat Denis merasa lebih kesal lagi. Ia bingung memutuskan antara senang karena terlambat tapi gerbang tidak ditutup atau sedih karena tidak akan ada libur akhir pekan.
Beberapa kelas ada yang belum mulai pelajaran. Mereka biasanya duduk-duduk sambil bercengkerama didepan ruang kelas. Akan berlari masuk secepat mungkin kalau guru pengajar sudah terlihat dari ujung. Denis melewati mereka tanpa menghiraukan. Menaiki anak tangga yang terasa berat sekali. Kakinya seperti digantungi beban berat.
Sesampainya di kelas, Denis kecewa karena guru yang mengajar belum masuk, yang artinya ia gagal untuk terlambat. Dengan menggerutu sambil mengumpat pelan, ia duduk di bangkunya seperti biasa. Bangkunya terletak dibaris ketiga dari depan, di dekat jendela kaca. Masing-masing meja diisi oleh dua anak. Dan yang paling Denis benci lagi, teman sebangkunya, yang juga sahabatnya, Imran, tidak masuk. Kemarin ia sudah berencana untuk membolos bersama Denis, untuk pergi ke pameran buku. Imran senang sekali membaca. Dan kini Denis gagal lagi. Sungguh hari yang buruk bagi Denis.
Denis duduk sambil melamun keluar jendela kaca. Hingga beberapa menit setelah guru pengajar masukpun, ia tetap melamun. Ia tidak ingin menghabiskan hari Minggu terburuknya hanya dengan mendengarkan ocehan konyol dari gurunya. Ia menikmati pemandangan indah diluar jendela. Walau awan hitam masih menyelimuti kota, ia bisa membayangkan betapa senangnya bisa pergi keluar dan bermain-main bersama temannya.
Denis nyaris tidak memperhatikan gurunya sama sekali. Pikirannya melayang keluar melompati jendela dan terbang bebas mengelilingi kota. Membayangkan deretan penjaja makanan di sepanjang jalan raya yang penuh sesak dengan orang-orang yang berjalan-jalan. Membeli es krim dan roti bakar yang menggugah selera. Apalagi ditemani oleh keluarga dan sahabatnya. Atau sekedar duduk-duduk ditaman sambil melihat burung-burung menari diangkasa. Aah, sungguh meyenangkannya hari Minggu.
Tapi sekarang ia ada di kelas itu. Sebenarnya ia senang bersekolah dan menuntut ilmu disekolah itu. Tapi sekali lagi, Denis tidak senang kalau hari Minggunya, hari liburnya, hari di mana ia seharunya bersenang-senang dengan keluarganya, justru dihabiskan dengan pelajaran tambahan yang membosankan.
Awan hitam di luar jendela semakin lama semakin pekat. Kilatan-kilatan terlihat di ujung kota. Angin bertiup semakin kencang, membuat pepohonan menari-nari dengan gusar. Daun-daun terlepas dari ranting-rantingnya dan berhamburan kesegala arah. Beberapa tersangkut di celah-celah jendela. Burung-burung beterbangan kesana-kemari dengan cepatnya seolah kebingungan mencari tempat berlindung. Cepat atau lambat, hujan deras akan mengguyur kota itu.
Angin yang masuk melalui lubang-lubang angin membuat ruangan kelas terasa dingin. Guru pengajar sudah selesai memberi materi, dan sekarang ia duduk di balik meja guru sambil membaca buku. Anak-anak yang kedinginan tampak meringkuk malas di atas buku-buku mereka sambil mengerjakan tugas yang diberikan. Beberapa anak tampak tidak bergairah. Sepertinya mereka juga mengalami hari Minggu yang tidak menyenangkan.
Jam yang menempel di dinding belakang berputar sangat lambat. Bahkan bunyi detakan jarumnya terdengar saking sepinya. Mengalahkan suara angin yang berhembus sudah semakin kencang di luar. Anak-anak berbisik satu sama lain. Sebagian mendiskusikan tentang tugas yang mereka kerjakan, dan sebagian lagi membicarakan hal-hal lain di luar pelajaran. Bahkan ada satu anak yang duduk di pojok, memberanikan diri untuk tidur. Teman sebelahnya mencoba menutupi wajah anak yang tidur itu dengan buku.
Denis yang memang tidak begitu tertarik dengan pelajaran hari itu, secepat mungkin mengerjakan tugasnya. Sebenarnya ia bisa mengerjakan semua soal-soal yang diberikan. Denis adalah anak yang pandai. Itulah yang membuatnya merasa palajaran tambahan dihari Minggu, tidak perlu.
Waktu terasa lama sekali. Saat Denis menoleh kearah jam dinding, ia menggerutu karena ia masih memiliki empat jam didalam kelas, menerima pelajaran tambahan dari guru. Jadi ia menoleh lagi keluar jendela kaca untuk mengamati pemandangan suram diluar. Angin bertiup semakin kencang dengan awan hitam yang semakin tebal dan semakin menghalangi matahari. Seperti hari itu bukan hari Minggu terburuk bagi Denis saja, tapi juga semua orang. Pasti orang-orang yang semula menikmati berjalan-jalan diluar, kini bergegas masuk kedalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat, dan duduk-duduk bengong didepan televisi; menanti air yang melimpah ruah jatuh dari angkasa.
Tapi mungkin saja hujan bukanlah hal yang dinantikan orang-orang itu, orang-orang yang menikmati hari Minggunya. Tapi hujan adalah hal yang paling dinanti Denis saat itu. Denis yakin apabila hujan deras, suara gurunya akan teredam. Dan gurunya tidak mau bersusah-payah untuk mengeraskan suaranya. Jadi, pasti akan istirahat sebentar, paling tidak sampai hujan reda. Tapi bagaimanapun juga, hari itu adalah hari Minggu terburuk Denis, jadi hujan tidak turun juga. Menyebabkan gurunya tidak bisa berhenti mengoceh di depan kelas. Tapi paling tidak Denis bisa menemukan kesenangannya di luar jendela dengan mengamati daun-daun dan sampah-sampah plastik dan juga kertas diterbangkan oleh angin.
Denis memusatkan perhatiannya pada ujung sebuah pohon besar di halaman sekolahnya, di mana burung-burung mulai hinggap pada cabang-cabangnya. Mencari tempat yang cocok untuk mereka bertengger dan berteduh dari air hujan yang tak kunjung datang. Walau batang-batang pohonnya meliu-liuk ditiup angin, burung-burung itu tetap berdiri kokoh disana. Juga seekor binatang lain yang Denis kira tadi adalah seekor bajing. Tapi Denis tidak pernah melihat bajing berwarna hitam sebesar itu. Ia sadar kalau bajing itu adalah seekor kucing hitam ketika kucing itu meluncur dari ujung pohon menuju tanah, yang terlihat janggal untuk sebuah lompatan. Sebenarnya Denis ingin melihat dimana kucing itu mendarat, akan tetapi ia takut pada ketinggian. Ia tidak berani menengok dari jendela dilantai tiga kearah bawah. Ia ngeri mendapati dirinya dalam ketinggian. Jadi ia meninggalkan si kucing.
“Denis?”
Denis tersadar dari lamunannya. Terlonjak mendengar suara gurunya menyebut namanya. Terkejut ketika menyadari kalau seluruh kelas menoleh ke arahnya dengan sinis.
“Ya, Bu?” Denis tersenyum janggal, salah tingkah sekaligus ketakutan.
“Ibu mohon untuk menghormati orang yang berbicara didepan”, kata Bu Guru. “Walaupun dia adalah gurumu.”
Denis terpaksa memperhatikan guru memberi palajaran. Ia tidak mau dua kali dipermalukan di depan teman-teman sekelasnya. Walau niatnya hanya setengah, toh dia mampu mengikuti pelajaran hingga istirahat datang.
Akhirnya jam istirahat datang. Walau hanya lima belas menit, Denis sangat lega sekali. Tapi ia juga sedih karena tidak ada sahabatnya, Imran, yang selalu ada di sampingnya kalau disekolah. Denis menghabiskan istirahat dengan duduk-duduk di bangku yang terletak di lantai bawah. Mengamati anak-anak lain berjalan hilir-mudik di depannya. Pertunjukan yang tidak pernah dilewatkan Denis setiap harinya adalah tingkah nakal anak-anak laki-laki tingkat tiga yang mengganggu adik kelasnya perempuan, yang biasanya adalah anak kelas satu. Mereka bergerombol satu geng, menjalankan aksinya dengan mengambil barang-barang yang dibawa oleh korbannya. Akhir-akhir ini yang sering sekali terkena aksi jahil mereka adalah Ana. Anak perempuan seangkatan dengan Denis, tapi beda kelas. Ana bisa disebut korban dengan aksi tertragis. Ia sudah tiga kali diguyur air oleh geng jahil tersebut.
Tapi kali ini Denis tidak melihat geng jahil itu beraksi. Bahkan mereka tidak terlihat di manapun. Ketidakhadiran mereka justru dianggapnya kurang menyenangkan. Mungkin mereka membolos. Lagi-lagi Denis jengkel karena tidak berhasil membolos hari itu. Ia melamun lagi, menatap kosong orang-orang di depannya.
Denis terkejut ketika mendapati dirinya tiba-tiba dikepung oleh beberapa anak laki-laki. Anak laki-laki kelas tiga. Anak laki-laki satu geng. Geng anak laki-laki yang biasanya menjahili anak-anak perempuan kelas satu. Denis mendongak untuk melihat wajah-wajah jahil mereka. Mereka menyeringai lebar sekali menatap Denis yang mulai ketakutan. Tapi Denis tidak mengerti kenapa mereka disana. Denis tidak pernah melihat mereka menyerang anak laki-laki, yang menjadikan Denis yakin mereka tidak akan menjadikannya korban. Tapi pemikiran Denis salah.
“Ini bangku kekuasaan kami”, gertak salah satu diantaranya, yang sepertinya adalah pemimpinnya karena betubuh paling kekar. “Dan kau mendudukinya.”
Denis yang baru saja sadar kalau ia tidak duduk dibangku biasanya ia duduk bersama Imran ketika istirahat, berdiri dengan canggung. Tersenyum ngeri menatap mereka semua. Melangkahkan kakinya kesamping dengan tanpa menggerakkan badan. Mencari celah dari lingkaran maut tersebut. Ketika sudah mendapat celah, ia melesat cepat keluar dari lingkaran. Tubuhnya yang kurus memberi keuntungan tersendiri.
Denis berlari tunggang-langgang menaiki tangga dengan ketakutan. Anak-anak itu mengejarnya. Denis yakin kalau lari mereka lebih cepat dari pada larinya. Tidak akan ada kesempatan baginya bisa lolos dari mereka. Dan yang ada dipikiran Denis adalah kembali kekelasnya. Walau sebenarnya ia tidak menjadi aman disana. Tapi saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyusun rencana.
Tepat ketika Denis sampai dilantai tiga, anak-anak jahil itu berhasil mengejarnya. Salah satu dari mereka berhasil meraih baju Denis dan menahan Denis agar tidak lari lagi. Denis ketakutan setengah mati. Tidak mungkin dia bisa lolos. Dia hanya bisa pasrah. Entah bagaimana tiba-tiba terlintas dibenaknya sekilas bayangan kucing hitam yang dilihatnya tadi. Denis jadi beranggapan kalau kucing hitam tadi bisa saja adalah  pertanda kesialan.
“Kau cari mati, anak kecil?” seru salah satu diantara mereka.
Tiba-tiba kepalan tangan besar melesat dihadapan mata Denis. Denis tidak bisa mengelak saking takut dan bingungnya. Kepalan tangan itu berhasil mendarat di wajahnya. Kilatan-kilatan cahaya mulai terlihat didalam gelapnya mata yang tertutup. Denis bisa merasakan seakan tulang-tulang wajahnya remuk. Dia tidak berani membuka kelopak matanya karena kepalanya sangat pening. Lalu selanjutnya ia terjatuh tidak sadarkan diri.
Sungguh hari terburuk bagi Denis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seorang Anak dan Boneka Beruang

Hentakan kaki mungil anak-anak kampung berlarian kesana kemari dijalan setapak yang tandus. Saling kejar demi mendapatkan giliran menarik truk mainan dari kayu. Teriakan mereka yang begitu ceria, menghiasi suasana sore yang hingar. Ternyata tidak membuat seorang anak dengan boneka beruangnya yang duduk dibalik jendela bambu disebuah rumah sederhana tertarik.
            Banu nama anak itu. Menatap indahnya desa disore hari dari balik jendela dengan murung. Kakinya bersila dengan boneka beruang lusuh dan kotor dipangkuannya. Sesekali ia angkat begitu kemudian ia peluk boneka beruangnya dengan penuh kasih. Air mata rindu akan dekapan kasih seorang ibu menggores pipinya yang kemerahan. Menyapu debu yang menempel. Membawa sebuah mimpi dan keinginan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

say, "Hello!"

"Hello!"

Welcome to my new blog "Tupai Liar"
just call me Tupai. Nama asliku Baharudin Arif Fajar, biasa dipanggil Fajar :p
Alasan kenapa aku bikin blog ini? hanya ingin mencurahkan unek-unekku yang tidak bisa tersiratkan langsung di dunia nyata. bahasa pasarannya curhat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS