Powered by Blogger.
RSS

Fanfiction: Hogwart Pertamaku

Aku dan kedua orang tuaku berjalan beriringan di koridor stasiun kereta api King Cross, London. Troli bermuatan koper dan perlengkapan sekolahku, didorong ibuku. Kucing berbulu cokelat tanah peliharaanku, Yiha, sedang tidur melingkar di dalam kandang. Berkali-kali terkejut ketika berpapasan dengan orang asing.

Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah sihir Hogwart. Hari yang dinanti-nanti oleh setiap anak keluarga penyihir, yang genap berusia 11 tahun sebelum tanggal 1 September. Sangat mendebarkan. Dan momen pertama yang aku nantikan adalah menyeberang tembok diantara peron 9 dan 10 untuk masuk ke gerbang peron 9 ¾. Yang mana peron tempat Hogwart Express berangkat.

Di peron 9 ¾, kami disambut hangat oleh keluarga penyihir lain yang merupakan rekan ayahku. Anak mereka yang kedua juga masuk tahun pertama Hogwart. Aku kenal anak perempuan berambut hitam sepunggung itu. Kami sempat beberapa kali bertemu di pertemuan rutin ayah. Dan antara orang tuaku dan orang tuanya, sepakat kami harus berteman di Hogwart. Namanya Anggi.

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku dan Anggi menyusuri koridor kereta Hogwart Express untuk mencari kompartemen kosong. Namun, kami tidak juga menemukan hingga peluit kereta berbunyi. Menandakan kereta hendak meluncur ke Hogwart. Jadi kami memutuskan masuk ke kompartemen yang hanya berisi satu anak. Anak perempuan berambut ikal sepundak.

Aku dan Anggi sibuk meletakkan koper kami di atas kompartemen. Anak perempuan itu hanya melihat kami dengan tatapan penasaran. Matanya yang bulat, memenuhi rongga matanya, sehingga tampak seperti melotot.

“Hai, apa kamu murid baru juga?” Anggi bertanya  pada perempuan itu. Anak perempuan itu hanya mengangguk.

“Namaku Anggi.” Anggi  memperkenalkan diri. “Dan ini temanku, Fajar. Kami juga murid baru Hogwart. Tahun pertama.”

“Namaku Rida.” Anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah kami. “Senang bisa mengenal kalian.” Nada bicaranya terlampau sopan. Khas sepeti bangsawan. Ia mencengkeram tongkat sihirnya dengan kuat. Seolah waspada kalau-kalau kami merebutnya.

Sementara kereta berjalan, aku dan Anggi  berbincang-bincang berdua membahas tongkat sihir baru kami. Tongkatku yang terbuat dari kayu elm dengan inti nadi jantung naga, tidak kalah dengan tongkat hawthorn dengan inti rambut unicorn milik Anggi. Anggi mengaku takut dengan Mr. Olivander, penjual tongkat sihir di Diagon Alley. Kami juga membeli beberapa makanan kecil dari troli penjaja makanan di kereta. Kami hanya membeli beberapa cokelat kodok dan kacang segala rasa Bertie Bott’s. Aku sedikit mual ketika tidak sengaja memakan kacang rasa kotoran telinga. Rida masih terus mengamati kami sambil mencengkeram tongkatnya.

“Mungkin aku akan masuk Ravenclaw. Ayahku Ravenclaw dan ibuku muggle.” Aku berkata tanpa keyakinan. Bingung.

“Ayah dan ibuku Hufflepuf, pasti aku juga sama seperti  mereka.” Anggi menjawab dengan antusias. “Kalau kau ingin masuk asrama mana?” Anggi menunjuk Rida.

“Maksudnya?” Rida balik bertanya. “Masuk apa?”

Aku dan Anggi saling pandang. Terkejut. Namun kami  langsung tahu apa yang kami hadapi.

“Apa kau berasal dari keluarga muggle?” Aku bertanya ragu.

Rida masih bertanya-tanya. Itu menandakan bahwa ia benar-benar berasal dari keluarga muggle. Jadi, dengan terpaksa aku dan Anggi menjelaskan sedikit dan singkat tentang Hogwart, asrama-asrama, dan beberapa mata pelajaran. Rida sangat antusias. Dan sejak saat itu, kami bertiga akrab. Mungkin akan menjadi teman dekat di Hogwart. Itupun kalau kami masuk ke asrama yang sama.

Malam datang tanpa terasa. Artinya tidak lama lagi kereta akan sampai di stasiun Hogsmead, desa penyihir di dekat Hogwart. Kami bergegas menurunkan barang-barang, berkemas, mengenakan jubah, dan bersiap turun dari kereta. Jantung berdebar. Cemas dan takut menggerogotiku. Sepertinya juga dirasakan oleh Anggi , apalagi Rida.

Kereta berhenti. Peluit lagi-lagi mengejutkanku. Diikuti oleh suara pintu-pintu kompartemen yang digeser. Kaki-kaki berhamburan keluar. Anggi menyuruh kami untuk tidak keluar dari kompartemen sebelum ada komando dari para Prefek. Kakak Anggi adalah salah satu Prefek Hufflepuf, jadi ia pasti sudah diberitahu. Prefek adalah ketua asrama. Masing-masing asrama mempunyai setidaknya dua orang Prefek.

“Kelas satu! Kelas satu!” Terdengar suara teriakan dari luar kereta. Anggi langsung mengisyaratkan untuk keluar. Itu adalah salah satu Prefek. Aku agak jengkel. Apa yang dipikirkan oleh kakak Anggi sampai melarang Anggi keluar dari kompartemen? Keluar dari kereta sekalipun, Anggi juga bisa menemukan Prefek. Kalau nasib kami buruk, mungkin kami akan dibawa kereta, balik lagi ke London. Ceroboh.

Aku, Anggi dan Rida bergabung dengan kerumunan anak kelas satu lain. Dengan dipandu para Prefek, kami berjalan menuju danau. Anak kelas satu memang diwajibkan melewati danau untuk sampai ke Hogwart, menggunakan perahu sampan. Sementara anak kelas dua ke atas, menunggangi semacam kereta kuda tanpa kuda. Bergerak sendiri tanpa ada yang menariknya.

Di pinggir danau, rombongan dikejutkan oleh sesosok manusia raksasa bertubuh besar, rambut gondrong, berewokan dan matanya memincing seperti kumbang. Beberapa anak ketakutan melihatnya, termasuk  Rida. Namun, para Prefek berhasil mengendalikan situasi dan memperkenalkan raksasa tersebut. Dia adalah Hagrid. Ia adalah penjaga kunci Hogwart sekaligus guru Satwa Gaib. Hagrid akan memandu rombongan kelas satu menyeberangi danau.

Aku, Anggi dan Rida memutuskan untuk naik perahu yang sama. Kami mendapatkan perahu di deretan paling ujung. Sudah ada satu anak laki-laki di atas perahu tersebut. Ia membawa lampu api yang sudah dibagikan Hagrid. Anak laki-laki itu terlihat murung. Matanya mendelik pada kami bertiga. Ia agak beringsut ke arah depan ketika kami bertiga masuk ke dalam perahu.

“Hai, namaku Anggi.” Anggi menjulurkan tangan kepada anak laki-laki itu.

“Bryan,” jawab anak laki-laki itu. Tepat di saat perahu mulai bergerak.

Kami saling berkenalan.

Perahu berjalan pelan menuju Hogwart. Menyusuri kelamnya Danau Hitam. Semua mata anak kelas satu tertuju pada kastil Hogwart yang menjulang tinggi di depan. Jendela-jendela kastil memancarkan cahaya berwarna kuning cerah, bila dilihat dari jarak itu. Laksana kue hitam berhias ribuan lilin. Beberapa anak berceloteh dan berteriak kegirangan. Kami tidak memperhatikan air di bawah perahu. Entah ada ikan, monster air, duyung, atau makhluk lainnya. Bryan bercerita, bahwa ayahnya sewaktu kecil dulu tidak sengaja tercebur ke danau, dan diselamatkan oleh Grindylow. (Ayahnya Bryan pasti bercanda, sejak kapan Grindylow bersahabat dengan penyihir?)

Sesampainya di tepi, semua anak kelas satu digiring menuju pintu masuk kastil. Kami berhenti di sebuah tangga besar yang menuju pada pintu kayu yang tidak kalah besarnya. Seorang perempuan tua muncul dari balik pintu. Ia mengenakan baju panjang berwarna hijau zamrud dan topi lancip. Mulutnya mengerucut menyambut anak-anak kelas satu. Namanya Minerva McGonagall. Ia menjelaskan secara singkat tentang apa yang akan kami lakukan selanjutnya.

“Semuanya, ikuti aku!” McGonagall berjalan menuju pintu kayu raksasa yang sekarang sudah terbuka.

Rombongan kelas satu mengikuti McGonagall seperti anak itik yang mengekor induknya. Melintasi ruangan besar yang disebut Great Hall. Ternyata semua siswa kelas dua ke atas sudah duduk rapi di mejanya masing-masing. Termasuk para staff Hogwart di depan. Semua mata tertuju pada rombongan kelas satu.

Anggi sudah sibuk menjelaskan lilin-lilin yang mengapung di langit-langit, dan juga langit-langit yang menyesuaikan dengan kondisi langit yang sesungguhnya, kepada Rida. Sementara aku dan Bryan mencoba membuktikan ucapan orang tua kami tentang lilin-lilin yang tidak bisa meleleh itu.

“Aku tidak sabar menunggu hari di mana lilin itu meleleh dan mengenai wajah salah satu siswa.” Bryan tertawa kecil.

“Aku penasaran mantra jenis apa yang bisa membuat lilin itu?” Aku menyela. “Mungkinkah di Diagon Alley ada lilin seperti itu?”

“Tentu saja tidak. Genius Dumbledore, tidak ada yang tidak bisa dilakukannya.” Anggi tiba-tiba masuk ke percakapan kami.

McGonagall menghentikan rombongan kelas satu. Ia berdiri di dekat kursi kayu tua, di mana ada topi kerucut aneh di atasnya. Satu lagi yang dapat aku buktikan dari omongan ayahku. Topi seleksi. Topi compang-camping tua yang dapat bicara dan bernyanyi. Akan menyeleksi satu-persatu anak baru ke asrama yang cocok.

“Anggi!” McGonagall berteriak. Memanggil satu-persatu anak kelas satu sesuai abjad.

Anggi keluar dari rombongan, menuju topi seleksi. Kemudian ia duduk di kursi itu. Sementara McGonagall menaruh topi seleksi di kepala Anggi. Topi itu benar-benar berbicara. Beberapa anak terpukau. Topi itu bergumam entah apa, kami tidak mendengarnya. Dan di ujung gumamannya, ia berteriak dengan lantang...

“HUFFLEPUFF!”

Detik itu juga, siswa lama Hogwart di salah satu meja bersorak bersama-sama. Jelas, bahwa mereka adalah anak-anak Hufflepuff lain. Menyambut anggota baru. Anggi berlari kecil menuju meja itu dengan gembira.

Bryan mendapat giliran keempat setelah Anggi. Topi seleksi menempatkannya ke Gryffindor. Aku antara tidak sabar dan grogi menunggu giliran. Cemas kalau-kalau aku mendapatkan asrama yang tidak cocok denganku. Namun, ayah bilang bahwa topi seleksi tahu mana yang terbaik untuk kita. Walaupun begitu, aku tetap cemas hingga giliranku datang.

Rasa cemas, grogi dan keraguan serasa hilang ketika aku berjalan menuju topi seleksi. Duduk di kursi kayu itu dengan topi seleksi di kepalaku. Topi itu berbau apek. Beberapa debu jatuh ke mataku. Dan topi itu terasa longgar, cenderung terlalu besar untuk kepalaku.

“Kamu cukup cerdas.” Topi seleksi mulai bicara. Aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas. “Kamu akan cocok bila bergabung dengan para cendekiawan di...”

“RAVENCLAW!”

Anak-anak Ravenclaw bersorak. Namun, hanya perasaanku saja atau memang teriakan anak Ravenclaw tidak semeriah anak Hufflepuff, apalagi Gryffindor. Aku sangat lega. Akhirnya aku bisa masuk asrama Ravenclaw seperti ayahku. Aku langsung duduk di meja Ravenclaw. Anak-anak Ravenclaw menyambutku dengan hangat. Sehingga aku tidak memperhatikan seleksi selanjutnya. Hingga tiba giliran Rida yang masuk asrama Gryffindor bersama Bryan.

Setelah proses seleksi selesai, Albus Dumbledore sang kepala sekolah Hogwart, menyambut para siswa dengan pidato singkat dan padat. Kemudian ribuan makanan beraneka ragam, seketika itu juga muncul di atas meja, setelah Dumbledore menutup sambutannya. Mulai dari ayam panggang hingga puding labu tersedia di sana. Aku tidak sadar bahwa perutku sangat lapar sejak aku turun dari kereta. Aku melahap beberapa potong roti panggang dan ayam goreng.

Ternyata keterkejutanku tidak sampai di situ saja. Beberapa saat kemudian, makhluk-makhluk transparan berhamburan masuk ke dalam Great Hall. Satu diantaranya menyambangi meja Ravenclaw. Ia adalah Grey Lady, hantu penunggu asrama Ravenclaw. Grey Lady tampak sangat cantik untuk ukuran hantu. Sejenak aku mengamati hantu asrama lain. Ada Nearly-Headless Nick De Mimsy-Porpington, sang hantu asrama Gryffindor, yang sedang pamer kepalanya yang nyaris putus kepada anak-anak baru Gryffindor. Atau Bloody Baron, hantu asrama Slytherin, yang tampak dingin dan licik seperti anak-anak Slytherin. Dan sepertinya Anggi sedang digoda oleh hantu asrama Hufflepuff, Fat Friar.

Makan malam usai. Semua siswa kembali ke asrama masing-masing. Prefek Ravenclaw mendampingi anak baru Ravenclaw untuk menuju asrama. Asrama Ravenclaw terletak di menara Hogwart. Jadi, kami harus melewati tangga kastil yang dapat bergerak berpindah-pindah. Prefek mengingatkan harus berhati-hati dalam memilih tangga bila tidak ingin salah tujuan. Dan akhirnya, aku mendapatkan kamar di asrama Ravenclaw.

To be continue (semoga)

PS.
Semua aset sepenuhnya milik  J. K. Rowling.
Maaf bagi nama-nama yang memang sengaja aku pakai. :v

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment