Powered by Blogger.
RSS

Pemburu Pekerjaan

Suasana malam kota yang begitu hingar, tidak membuat Arimbi, seorang gadis berumur 25 tahun berparas rupawan, membuang wajah muramnya. Kebanyakan orang beranggapan tidak pantas seorang perempuan muda berjalan sendirian di tengah malam. Namun tidak dengan Arimbi. Tuntutan akan kebutuhan membuatnya lebih ekstra menguras keberanian dan tenaga, kerja siang dan malam.
Di sebuah trotoar pinggir jalan raya yang dipenuhi para penjaja santap malam, Arimbi duduk. Tidak sedikitpun ia tergoda dengan makanan-makanan yang menggugah selera tersebut. Walau ia belum makan sejak sore tadi, ia tidak sedikitpun menghiraukan perutnya. Sebuah kertas tagihan hutang terbentang di pangkuannya. Dengan wajah muram ia membaca kalimat-kalimatnya beberapa kali. Bulan ini ia harus membayar cicilan hutang orang tuanya sebesar Rp. 500.000. Belum lagi dengan tanggungan sekolah kedua adik kembarnya yang masih duduk di bangku SMA. Semenjak ayahnya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan kerja, ia menjadi tulang punggung keluarga.
Sebuah air mata letih tiba-tiba menitik di kertas tagihan tersebut. Hari itu ia menerima gaji bulanan, hasil kerjanya menjadi karyawan di sebuah pabrik tekstil di kota. Gaji untuk bulan itu ia dapatkan seminggu lebih awal dari biasanya. Gajinya yang hanya delapan ratus ribu, hanya cukup untuk mencicil hutang dan membayar sekolah kedua adiknya. Gaji darinya menjadi seorang pelayan kafe malam, baru keluar satu minggu lagi. Itupun hanya cukup untuk makan dan kebutuhan lainnya selama sebulan. Belum untuk membeli obat untuk ibunya yang menderita penyakit jantung, yang jelas tidak murah. Dan juga bayar sewa kontrakan rumah yang sudah nunggak tiga bulan.
Arimbi bingung. Ia tidak tahu harus mencari uang kemana lagi untuk membeli obat ibunya. Biasanya ia rela menjadi buruh cuci di beberapa rumah setiap hari Kamis, hari di mana ia libur kerja pabrik. Namun tidak lagi setelah kejadian memalukan itu terjadi. Karena kakak laki-lakinya, Bima, sering mengikutinya ketika ia mengambil cucian di beberapa rumah dan sudah beberapa kali kepergok mencuri di rumah itu juga. Alhasil sang pemilik rumah enggan untuk mencuci baju ke Arimbi. Dan sekarang Bima harus mendekam di hotel prodeo selama lima tahun karena banyaknya tuduhan mencuri yang diajukan.
Ternyata bukan kertas tagihan yang membuatnya menitikkan air mata. Melainkan kertas lainnya yang ada di balik kertas tagihan. Ia membaca surat itu. Sebuah surat pemberhentian kerjanya di pabrik tekstil. Hatinya remuk dan hancur. Kesalahannya sendirilah yang membuatnya menanggung akibatnya. Ia sering datang terlambat karena sering bangun kesiangan. Bagaimanpun juga, kerja dari pagi sampai sore di pabrik dan langsung dilanjutkan menjadi pelayan kafe tanpa istirahat, sangatlah berat untuk seorang perempuan seperti Arimbi.
“Kak Arimbi harus kuat!” kata Evi, salah satu adik Arimbi suatu hari untuk menyemangati. Sebenarnya Evi dan Eva ingin sekali membantu kakaknya. Namun Arimbi melarang mereka. “Kalian tidak usah memikirkan uang. Biar kakak saja yang memikirkannya. Kalian belajar saja yang rajin.” Itulah kata-kata naif Arimbi dengan angkuhnya. Evi dan Eva sangat berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dan Arimbi dengan ketidaktahuannya menjanjikan hal itu. Sekarang ia tidak tahu harus menepati janji-janjinya dengan apa.
Keesokan harinya, Arimbi berjalan menyusuri kota seperti biasanya. Hanya saja ia tidak menuju ke pabrik tekstil tempat ia bekerja sebelumnya. Sebuah amplop besar berwarna coklat ia genggam erat dengan penuh harapan. Berisi surat-surat penting untuk melamar pekerjaan. Kebutuhan yang mendesak menuntutnya untuk mendapat pekerjaan utama yang baru secepatnya. Dengan tekat kuat ia menuju sebuah pabrik kosmetik di pinggiran kota. Arimbi mendengar ada lowongan sebagai SPG di sana. Semoga saja lowongan tersebut masih ada.
“Permisi, Mbak”, seru Arimbi kepada resepsionis. Resepsionis menyambutnya dengan ramah. “Apa lowongan SPG di pabrik ini masih ada? Saya berkeinginan untuk mengisi kekosongan tersebut.”
Resepsionis tersebut tampak membaca sesuatu dari laci mejanya. “Oh, maaf, Mbak sebelumnya. Tapi lowongan untuk SPG sudah ditutup satu minggu yang lalu.”
Arimbi keluar dengan muram. Seolah lenyaplah seluruh harapannya. Ia tidak tahu lagi harus ke mana. Ia sengaja tidak pulang, supaya ibunya tidak bertanya, “Ar, kenapa tidak kerja?” Ia tidak mau menambah beban fikiran ibunya. Namun ia tidak bisa terus-terusan di luar tanpa kerjaan, menunggu malam tiba untuk kerja di kafe.
Sambil duduk di bangku sebuah taman kota, Arimbi merenungi nasibnya. Ia teringat dengan keluarga yang sangat dicintainya. Obat ibu cuma tersisa untuk diminum dua hari. Terpaksa ia harus menggunakan sisa gaji terakhirnya untuk membeli obat. Untuk bayaran sekolah Evi dan Eva bisa nunggak dulu satu bulan. Lagipula mereka selalu membayar tepat waktu. Tapi bagaimana dengan sewa kontrakan? Ia sedih ketika Eva mengadu padanya bahwa setiap hari sang pemilik kontrakan menagih uang dengan marah-marah. Tapi untung saja sang penagih tidak ceroboh dengan menagih dirumah. Karena bila terdengar oleh ibu, penyakit jantungnya akan semakin parah karena banyak fikiran. Saking berlarutnya, ia nyaris lupa akan membayar cicilan hutang di bank. Cicilan setiap bulan selama tiga tahun. Ibunya terpaksa hutang di bank untuk membeli sepeda motor yang diidam-idamkan Bima. Namun sekarang sepeda motor itu telah tiada. Habis dimakan judi oleh kakaknya itu.
Arimbi melihat seorang remaja laki-laki menjajakan koran di sekitar taman. Ia berfikir, mungkinkah ia harus menjadi loper koran seperti anak itu kalau ia benar-benar tidak mendapatkan pekerjaan lagi? Jaman sekarang, mencari pekerjaan sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Dulu, ayahnyalah yang membantunya bisa masuk ke pabrik tekstil itu, karena ayahnya bekerja di sana. Namun sekarang ia tidak kenal siapapun yang dapat membantunya. Loper koran adalah pilihan terakhirnya.
Tunggu dulu. Tiba-tiba ia teringat akan tawaran Om Rony. Tawaran bekerja di tempatnya dengan bayaran yang cukup tinggi. Bodoh sekali dulu ia menolaknya hanya karena pengaruh teman-teman kerjanya di kafe. Kata mereka, Om Rony bukan orang baik-baik. Namun Om Rony tampak ramah sekali saat berhadapan dengan Arimbi. Ya. Arimbi akan menanyakan tawaran Om Rony.
“Kamu yakin akan keputusanmu, sweatheart?” tanya Om Rony sambil menyeringai. Ketika ia dan Arimbi berbincang di kafe tempat Arimbi bekerja malam harinya.
Dengan canggung Arimbi mengiyakan. “Ya. Saya yakin!”
Saat itu juga Om Rony langsung mengajak Arimbi ke tempat ia akan dipekerjakan. Arimbi bingung karena ia langsung diterima tanpa surat lamaran dan nyaris tanpa syarat apapun. Terpaksa ia ijin dahulu di kafe. Om Rony membawanya ke sebuah tempat mewah. Sebuah diskotik. Arimbi tidak tahu pekerjaan apa yang akan didapatnya di diskotik seperti itu. Mungkinkah ia akan menjadi pelayan seperti di kafe?
Om Rony menyuruh Arimbi berganti baju dengan baju yang disiapkan. Hal yang paling dibenci oleh Arimbi, ia harus mengenakan rok. Arimbi memang sedikit tomboy, dan rok mini merupakan salah satu pakaian yang paling ia benci. Ia sedikit kurang nyaman membayangkan pekerjaan yang didapatnya.
“Pergilah ke sana! Bersama gadis-gadis yang lain!” perintah Om Rony sambil menunjuk kerumunan gadis-gadis cantik di diskotik. “Kamu akan dibayar tinggi bila berhasil menggaet banyak pelanggan.”
Arimbi terkejut menyadari pekerjaan barunya. Ia tidak pernah menyangka akan di pekerjakan menjadi seorang wanita penghibur seperti itu. Bodohnya ia karena tidak bertanya lebih dahulu kepada Om Rony sebelum menerima tawarannya. Tuntutan akan kebutuhan yang mendesak jelas sekali telah mengacaukan fikirannya. Ingin sekali ia berlari keluar dari tempat itu. Namun ia tidak tahu harus kemana lagi. Ia terpaksa melakukannya.
Seorang laki-laki paruh baya dengan wajah nakal menghampirinya. Mengajaknya untuk ke sudut diskotik. Arimbi duduk di pangkuannya dengan ketakutan. Sementara tangan jahil laki-laki itu menggerayangi punggung Arimbi, Arimbi menyesali perbuatannya. Tiba-tiba terlintas wajah ibunya di kepalanya. Hati Arimbi merintih melihat ibunya terbaring di kamarnya sambil tersenyum sendu menatapnya.
Arimbi tertegun. Ia sadar bukan disanalah tempat yang baik untuknya. Dengan gesitnya ia melepaskan pelukan sang laki-laki nakal tersebut dan berlari keluar. Ia berlari kencang sekali untuk menjauh dari diskotik dan bersembunyi kalau-kalau dikejar Om Rony atau siapapun.
“Ibu, maafkan Ari”, rintih Arimbi sambil terengah. Ia terduduk lemas disebuah trotoar sepi di pinggiran kota. Sangat jauh jarak dari tempat itu menuju rumahnya. Mustahil ia tempuh dengan berjalan kaki. Namun ia tidak punya uang sepeserpun. Tas dan dompetnya tertinggal di diskotik. Bodoh jika ia kembali lagi untuk mengambilnya. Ia menangis di sana. Menyesali perbuatannya. Sekarang ia benar-benar tidak mempunyai pekerjaan. Karena ia tidak mau lagi balik ke kafe dan bertemu Om Rony lagi. Sekarang hidupnya benar-benar hancur bila tidak segera mendapat pekerjaan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment