Powered by Blogger.
RSS

Hilang - Part 1

DENIS berjalan sendirian meyusuri jalanan yang ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang, menuju sekolahnya yang berjarak kira-kira satu kilometer dari rumahnya. Hari Minggu pagi yang biasanya ceria, tampak gundah karena hadirnya awan mendung yang hadir sejak malam. Matahari tidak berani keluar. Hanya sinar-sinarnya yang berhasil menembus tebalnya awan hitam, yang menerangi pagi itu. Tapi tidak menyurutkan niatnya untuk pergi kesekolah untuk menjalani jam pelajaran tambahan.
“Harusnya aku tidur saja di rumah”, gerutunya sambil menguap lebar. Denis benci kalau hari liburnya harus diisi dengan beberapa pekerjaan, apalagi harus sekolah. Sebenarnya ia sudah berencana hendak membolos, sejak kemarin sore. Tapi ibunya memaksanya untuk berangkat. Rencananya gagal.
Denis berjalan malas sepelan mungkin. Berniat untuk terlambat. Gurunya tidak bisa memarahinya karena terlambat, karena hari Minggu. Hari Minggu adalah hari libur. Dan artinya peraturan sekolah juga libur, walau tidak seluruhnya. Dan karena libur juga, ia tidak memakai seragam sekolah seperti biasanya. Hanya memakai T-Shirt berwarna biru muda dengan setelan celana jins panjang berwarna biru tua. Tapi untuk kesopanan, ia tetap memakai sepatu. Tas ranselnya yang biasanya berisi banyak buku, kali itu ia hanya membawa buku tulis satu buah.
Ia merasa iri dengan orang-orang yang berlalu-lalang disepanjang jalan. Berjalan-jalan bersama keluarga dan teman-temannya untuk menikmati akhir pekan. Menghabiskan satu hari liburan dalam satu minggu penuh pekerjaan dengan menikmati suasana kota yang ceria walaupun awan mendung masih terus menemani.
Denis adalah anak laki-laki berumur dua belas tahun. Bersekolah di salah satu sekolah menengah di kotanya. Walau baru tingkat pertama disekolah, tapi sudah diwajibkan untuk mengikuti jam tambahan hari Minggu. Denis adalah anak yang pendiam, cuek dengan keadaan sekitarnya. Tapi kesenangan orang-orang di hari itu tidak bisa ia hiraukan begitu saja. Denis tinggal bersama kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga jarang sekali meluangkan waktu untuknya dan adik perempuannya, Desi, kecuali pada hari Minggu. Dan Denis benci telah melewatkan momen menyenangkan itu.
Denis semakin malas ketika ia telah sampai didepan sekolahnya. Tampak beberapa anak lainnya juga berjalan memasuki gerbang dengan murung. Ini sungguh tidak adil. Sekolah itu telah memberi peraturan yang tidak wajar kepada murid-muridnya.
Denis berhenti didepan gerbang. Ia tahu kalau ia belum terlambat. Jadi ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Seperti salah perhitugan, seharusnya ia berjalan lebih pelan lagi tadi. Ia mengamati bangunan sekolah yang besar menjulang tinggi. Ada tiga lantai, dan Denis malas membayangkan kelasnya ada dilantai ketiga atau lantai teratas. Denis membayangkan kalau ia sedang berdiri didepan sebuah penjara. Kalau ia masuk kesana, ia tidak bisa keluar lagi. Awan hitam yang tebal diatas bangunan menambah kesan seram.
Setelah dirasa sudah cukup terlambat, Denis akhirnya berjalan memasuki sekolahnya. Kalau hari biasa, gerbang akan ditutup oleh penjaga. Dan karena hari Minggu, gerbang tidak ditutup karena penjaga sedang libur, tentu saja. Dan itu membuat Denis merasa lebih kesal lagi. Ia bingung memutuskan antara senang karena terlambat tapi gerbang tidak ditutup atau sedih karena tidak akan ada libur akhir pekan.
Beberapa kelas ada yang belum mulai pelajaran. Mereka biasanya duduk-duduk sambil bercengkerama didepan ruang kelas. Akan berlari masuk secepat mungkin kalau guru pengajar sudah terlihat dari ujung. Denis melewati mereka tanpa menghiraukan. Menaiki anak tangga yang terasa berat sekali. Kakinya seperti digantungi beban berat.
Sesampainya di kelas, Denis kecewa karena guru yang mengajar belum masuk, yang artinya ia gagal untuk terlambat. Dengan menggerutu sambil mengumpat pelan, ia duduk di bangkunya seperti biasa. Bangkunya terletak dibaris ketiga dari depan, di dekat jendela kaca. Masing-masing meja diisi oleh dua anak. Dan yang paling Denis benci lagi, teman sebangkunya, yang juga sahabatnya, Imran, tidak masuk. Kemarin ia sudah berencana untuk membolos bersama Denis, untuk pergi ke pameran buku. Imran senang sekali membaca. Dan kini Denis gagal lagi. Sungguh hari yang buruk bagi Denis.
Denis duduk sambil melamun keluar jendela kaca. Hingga beberapa menit setelah guru pengajar masukpun, ia tetap melamun. Ia tidak ingin menghabiskan hari Minggu terburuknya hanya dengan mendengarkan ocehan konyol dari gurunya. Ia menikmati pemandangan indah diluar jendela. Walau awan hitam masih menyelimuti kota, ia bisa membayangkan betapa senangnya bisa pergi keluar dan bermain-main bersama temannya.
Denis nyaris tidak memperhatikan gurunya sama sekali. Pikirannya melayang keluar melompati jendela dan terbang bebas mengelilingi kota. Membayangkan deretan penjaja makanan di sepanjang jalan raya yang penuh sesak dengan orang-orang yang berjalan-jalan. Membeli es krim dan roti bakar yang menggugah selera. Apalagi ditemani oleh keluarga dan sahabatnya. Atau sekedar duduk-duduk ditaman sambil melihat burung-burung menari diangkasa. Aah, sungguh meyenangkannya hari Minggu.
Tapi sekarang ia ada di kelas itu. Sebenarnya ia senang bersekolah dan menuntut ilmu disekolah itu. Tapi sekali lagi, Denis tidak senang kalau hari Minggunya, hari liburnya, hari di mana ia seharunya bersenang-senang dengan keluarganya, justru dihabiskan dengan pelajaran tambahan yang membosankan.
Awan hitam di luar jendela semakin lama semakin pekat. Kilatan-kilatan terlihat di ujung kota. Angin bertiup semakin kencang, membuat pepohonan menari-nari dengan gusar. Daun-daun terlepas dari ranting-rantingnya dan berhamburan kesegala arah. Beberapa tersangkut di celah-celah jendela. Burung-burung beterbangan kesana-kemari dengan cepatnya seolah kebingungan mencari tempat berlindung. Cepat atau lambat, hujan deras akan mengguyur kota itu.
Angin yang masuk melalui lubang-lubang angin membuat ruangan kelas terasa dingin. Guru pengajar sudah selesai memberi materi, dan sekarang ia duduk di balik meja guru sambil membaca buku. Anak-anak yang kedinginan tampak meringkuk malas di atas buku-buku mereka sambil mengerjakan tugas yang diberikan. Beberapa anak tampak tidak bergairah. Sepertinya mereka juga mengalami hari Minggu yang tidak menyenangkan.
Jam yang menempel di dinding belakang berputar sangat lambat. Bahkan bunyi detakan jarumnya terdengar saking sepinya. Mengalahkan suara angin yang berhembus sudah semakin kencang di luar. Anak-anak berbisik satu sama lain. Sebagian mendiskusikan tentang tugas yang mereka kerjakan, dan sebagian lagi membicarakan hal-hal lain di luar pelajaran. Bahkan ada satu anak yang duduk di pojok, memberanikan diri untuk tidur. Teman sebelahnya mencoba menutupi wajah anak yang tidur itu dengan buku.
Denis yang memang tidak begitu tertarik dengan pelajaran hari itu, secepat mungkin mengerjakan tugasnya. Sebenarnya ia bisa mengerjakan semua soal-soal yang diberikan. Denis adalah anak yang pandai. Itulah yang membuatnya merasa palajaran tambahan dihari Minggu, tidak perlu.
Waktu terasa lama sekali. Saat Denis menoleh kearah jam dinding, ia menggerutu karena ia masih memiliki empat jam didalam kelas, menerima pelajaran tambahan dari guru. Jadi ia menoleh lagi keluar jendela kaca untuk mengamati pemandangan suram diluar. Angin bertiup semakin kencang dengan awan hitam yang semakin tebal dan semakin menghalangi matahari. Seperti hari itu bukan hari Minggu terburuk bagi Denis saja, tapi juga semua orang. Pasti orang-orang yang semula menikmati berjalan-jalan diluar, kini bergegas masuk kedalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat, dan duduk-duduk bengong didepan televisi; menanti air yang melimpah ruah jatuh dari angkasa.
Tapi mungkin saja hujan bukanlah hal yang dinantikan orang-orang itu, orang-orang yang menikmati hari Minggunya. Tapi hujan adalah hal yang paling dinanti Denis saat itu. Denis yakin apabila hujan deras, suara gurunya akan teredam. Dan gurunya tidak mau bersusah-payah untuk mengeraskan suaranya. Jadi, pasti akan istirahat sebentar, paling tidak sampai hujan reda. Tapi bagaimanapun juga, hari itu adalah hari Minggu terburuk Denis, jadi hujan tidak turun juga. Menyebabkan gurunya tidak bisa berhenti mengoceh di depan kelas. Tapi paling tidak Denis bisa menemukan kesenangannya di luar jendela dengan mengamati daun-daun dan sampah-sampah plastik dan juga kertas diterbangkan oleh angin.
Denis memusatkan perhatiannya pada ujung sebuah pohon besar di halaman sekolahnya, di mana burung-burung mulai hinggap pada cabang-cabangnya. Mencari tempat yang cocok untuk mereka bertengger dan berteduh dari air hujan yang tak kunjung datang. Walau batang-batang pohonnya meliu-liuk ditiup angin, burung-burung itu tetap berdiri kokoh disana. Juga seekor binatang lain yang Denis kira tadi adalah seekor bajing. Tapi Denis tidak pernah melihat bajing berwarna hitam sebesar itu. Ia sadar kalau bajing itu adalah seekor kucing hitam ketika kucing itu meluncur dari ujung pohon menuju tanah, yang terlihat janggal untuk sebuah lompatan. Sebenarnya Denis ingin melihat dimana kucing itu mendarat, akan tetapi ia takut pada ketinggian. Ia tidak berani menengok dari jendela dilantai tiga kearah bawah. Ia ngeri mendapati dirinya dalam ketinggian. Jadi ia meninggalkan si kucing.
“Denis?”
Denis tersadar dari lamunannya. Terlonjak mendengar suara gurunya menyebut namanya. Terkejut ketika menyadari kalau seluruh kelas menoleh ke arahnya dengan sinis.
“Ya, Bu?” Denis tersenyum janggal, salah tingkah sekaligus ketakutan.
“Ibu mohon untuk menghormati orang yang berbicara didepan”, kata Bu Guru. “Walaupun dia adalah gurumu.”
Denis terpaksa memperhatikan guru memberi palajaran. Ia tidak mau dua kali dipermalukan di depan teman-teman sekelasnya. Walau niatnya hanya setengah, toh dia mampu mengikuti pelajaran hingga istirahat datang.
Akhirnya jam istirahat datang. Walau hanya lima belas menit, Denis sangat lega sekali. Tapi ia juga sedih karena tidak ada sahabatnya, Imran, yang selalu ada di sampingnya kalau disekolah. Denis menghabiskan istirahat dengan duduk-duduk di bangku yang terletak di lantai bawah. Mengamati anak-anak lain berjalan hilir-mudik di depannya. Pertunjukan yang tidak pernah dilewatkan Denis setiap harinya adalah tingkah nakal anak-anak laki-laki tingkat tiga yang mengganggu adik kelasnya perempuan, yang biasanya adalah anak kelas satu. Mereka bergerombol satu geng, menjalankan aksinya dengan mengambil barang-barang yang dibawa oleh korbannya. Akhir-akhir ini yang sering sekali terkena aksi jahil mereka adalah Ana. Anak perempuan seangkatan dengan Denis, tapi beda kelas. Ana bisa disebut korban dengan aksi tertragis. Ia sudah tiga kali diguyur air oleh geng jahil tersebut.
Tapi kali ini Denis tidak melihat geng jahil itu beraksi. Bahkan mereka tidak terlihat di manapun. Ketidakhadiran mereka justru dianggapnya kurang menyenangkan. Mungkin mereka membolos. Lagi-lagi Denis jengkel karena tidak berhasil membolos hari itu. Ia melamun lagi, menatap kosong orang-orang di depannya.
Denis terkejut ketika mendapati dirinya tiba-tiba dikepung oleh beberapa anak laki-laki. Anak laki-laki kelas tiga. Anak laki-laki satu geng. Geng anak laki-laki yang biasanya menjahili anak-anak perempuan kelas satu. Denis mendongak untuk melihat wajah-wajah jahil mereka. Mereka menyeringai lebar sekali menatap Denis yang mulai ketakutan. Tapi Denis tidak mengerti kenapa mereka disana. Denis tidak pernah melihat mereka menyerang anak laki-laki, yang menjadikan Denis yakin mereka tidak akan menjadikannya korban. Tapi pemikiran Denis salah.
“Ini bangku kekuasaan kami”, gertak salah satu diantaranya, yang sepertinya adalah pemimpinnya karena betubuh paling kekar. “Dan kau mendudukinya.”
Denis yang baru saja sadar kalau ia tidak duduk dibangku biasanya ia duduk bersama Imran ketika istirahat, berdiri dengan canggung. Tersenyum ngeri menatap mereka semua. Melangkahkan kakinya kesamping dengan tanpa menggerakkan badan. Mencari celah dari lingkaran maut tersebut. Ketika sudah mendapat celah, ia melesat cepat keluar dari lingkaran. Tubuhnya yang kurus memberi keuntungan tersendiri.
Denis berlari tunggang-langgang menaiki tangga dengan ketakutan. Anak-anak itu mengejarnya. Denis yakin kalau lari mereka lebih cepat dari pada larinya. Tidak akan ada kesempatan baginya bisa lolos dari mereka. Dan yang ada dipikiran Denis adalah kembali kekelasnya. Walau sebenarnya ia tidak menjadi aman disana. Tapi saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyusun rencana.
Tepat ketika Denis sampai dilantai tiga, anak-anak jahil itu berhasil mengejarnya. Salah satu dari mereka berhasil meraih baju Denis dan menahan Denis agar tidak lari lagi. Denis ketakutan setengah mati. Tidak mungkin dia bisa lolos. Dia hanya bisa pasrah. Entah bagaimana tiba-tiba terlintas dibenaknya sekilas bayangan kucing hitam yang dilihatnya tadi. Denis jadi beranggapan kalau kucing hitam tadi bisa saja adalah  pertanda kesialan.
“Kau cari mati, anak kecil?” seru salah satu diantara mereka.
Tiba-tiba kepalan tangan besar melesat dihadapan mata Denis. Denis tidak bisa mengelak saking takut dan bingungnya. Kepalan tangan itu berhasil mendarat di wajahnya. Kilatan-kilatan cahaya mulai terlihat didalam gelapnya mata yang tertutup. Denis bisa merasakan seakan tulang-tulang wajahnya remuk. Dia tidak berani membuka kelopak matanya karena kepalanya sangat pening. Lalu selanjutnya ia terjatuh tidak sadarkan diri.
Sungguh hari terburuk bagi Denis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment