Powered by Blogger.
RSS

Seorang Anak dan Boneka Beruang

Hentakan kaki mungil anak-anak kampung berlarian kesana kemari dijalan setapak yang tandus. Saling kejar demi mendapatkan giliran menarik truk mainan dari kayu. Teriakan mereka yang begitu ceria, menghiasi suasana sore yang hingar. Ternyata tidak membuat seorang anak dengan boneka beruangnya yang duduk dibalik jendela bambu disebuah rumah sederhana tertarik.
            Banu nama anak itu. Menatap indahnya desa disore hari dari balik jendela dengan murung. Kakinya bersila dengan boneka beruang lusuh dan kotor dipangkuannya. Sesekali ia angkat begitu kemudian ia peluk boneka beruangnya dengan penuh kasih. Air mata rindu akan dekapan kasih seorang ibu menggores pipinya yang kemerahan. Menyapu debu yang menempel. Membawa sebuah mimpi dan keinginan.
            Desiran ombak menghempas pasir pantai dan hentakan air hujan yang berjatuhan dijalanan beraspal, bersahut-sahutan dalam kepalanya. Teringat akan kejadian tragis dua tahun silam, yang membuat seorang anak yatim berumur delapan tahun kehilangan sosok seorang ibu. Meninggalkan sebuah goresan duka dihatinya. Membuatnya selalu murung dan lebih senang bermain dengan boneka beruang kesayangannya dibanding dengan anak sebayanya.
            Boneka beruang tua yang sudah tidak layak disebut mainan itu, adalah keluarga satu-satunya yang masih ia miliki. Bukan wujud yang ia lihat, akan tetapi nilai dan kenangan yang tersimpan dalam boneka beruang itulah yang ia jaga.
            “Ibu, apa ayah akan pulang hari ini?” begitulah pertanyaan yang selalu diajukan Banu selepas pulang dari belajar membaca Al-Qur’an dimasjid setiap sore. Yang akan selalu dijawab oleh sang ibu dengan, “Ibu tidak tahu, nak.” untuk melegakannya. Karena memang ayahnya tidak akan pernah kembali. Setidaknya setelah kecelakaan maut sebuah bus yang ditunggangi sang ayah ketika berangkat kerja tiga bulan sebelumnya. Membuat ibunya harus bekerja sendirian untuk mencukupi kebutuhan sebagai buruh cuci.
            “Kapan ayah pulang, bu?” rintih Banu pada suatu sore, ketika kerinduannya sudah sangat menggebu. Bukan jawaban yang melegakan yang dilontarkan sang ibu saat itu. Melainkan pelukan hangat dan luapan air mata. Sang ibu sudah tidak sanggup lagi melihat anaknya selalu merindu setiap sorenya. “Ibu. Kenapa ibu menangis? Apa Banu berbuat nakal kepada ibu?”
            Di sore yang lain, sang ibu berniat untuk tidak membuat Banu bertanya akan ayahnya lagi. Dengan hati besar sang ibu membawa anaknya ke pasar malam yang diselenggarakan kepala desa di tanah lapang didekat balai desa. Usaha sang ibu tidak sia-sia. Banu akhirnya melupakan pertanyaan yang menghantuinya setiap sore jua. Berhambur dengan teman-teman sebayanya membuat hatinya sedikit berbunga.
            “Ibu kenapa hanya membeli dua? Kan ayah nanti malam akan pulang.” Ternyata membeli martabak dua biji saja membuatnya teringat akan sosok ayahnya. Banu memang sangat dekat dengan ayahnya. Kedekatannya sangat erat. Sang ayah sering menemaninya menerbangkan layang-layang bambu bersama disebuah bukit dibelakang desa. Bersepeda mereka berangkat setiap minggu pagi. Dengan pancing dan jaring yang selalu digunakan ayahnya untuk memancing ikan di sebuah curug dekat bukit. Sementara Banu asyik memegang senar layang-layang yang tertiup angin.
            Di sebuah Minggu siang yang panas, Banu duduk diteras rumahnya. Sebuah layangan bambu yang sudah patah-patah dicobanya perbaiki. Itulah layang-layang terakhir yang ia terbangkan. Bersama sahabatnya, Ridwan, ia berlarian diatas bukit untuk mencari angin. Ayahnya berangkat bekerja sebelum Banu memutuskan untuk menerbangkan layangannya bersama Ridwan. Walau sedikit berbeda dari hari Minggu sebelumnya, Banu berusaha senang bersama Ridwan.
            Ketika matahari belum jua naik, seorang perempuan paruh baya meneriaki Banu dari kaki bukit. Membawa sebuah kabar yang membuat siapapun yang mendengarnya terkejut. Tidak terkecuali Banu. Dengan terhuyung-huyung, ia berlari menuruni bukit sambil menenteng layang-layangnya. Meninggalkan Ridwan yang masih sibuk menurunkan layang-layangnya sendiri. Hatinya menjerit ketika dilihatnya kerumunan tetangga menyambutnya dengan belas kasih sesampainya dirumah. Ia melihat ibunya menangis terpingkal dipintu depan. Meneriaki Banu dengan sedihnya. Ia hempaskan layang-layangnya dan ia injak-injak sampai bambunya patah. Ia tidak menangis. Karena ia tahu, ayahnya tidak akan meninggalkannya untuk selamanya.
            “Lihat, apa yang ibu bawa, nak!” Sang ibu mendatangi kamar Banu pada sebuah malam yang penuh rindu. Menenteng sebuah boneka beruang lusuh dan tampak tua. Dengan gembiranya Banu menerima mainan yang belum tentu ia dapatkan sekali seumur hidup. Walau boneka bekas, ia tidak mau menyakiti hati ibunya yang sudah susah payah menyambungkan kepalanya yang sepertinya sebelumnya sudah nyaris putus.
            “Bu, kapan ayah pulang? Banu pengin memeluk ayah.” Pertanyaan yang membuat sang ibu kembali mendapat hantaman keras itu. Air mata tidak bisa dibendung lagi. Luapan kesedihan ibu lukiskan dengan memeluk sang anak dan membelai kasih rambutnya. “Tadi malam ayah pulang dan memberimu boneka itu.” Sang ibu terpaksa berbohong lagi. “Nanti malam pasti pulang lagi. Nanti ibu akan memintanya untuk tidur disampingmu.”
            “Kalau begitu, Banu akan menunggu ayah sampai pulang.” Lalu menunggulah Banu di kursi berlengan yang sering diduduki ayahnya dulu. Sang ibu tidak kuasa menahannya. Sang ibu hanya meratapi anaknya yang selalu merindu dengan menangis dikamarnya. Sementara Banu berusaha untuk tetap terjaga bersama boneka beruangnya, untuk menyambut hadirnya sang ayah dipintu depan. Namun sia-sia ia melakukannya.
            Rindu yang tak terobati, membuat Banu kecil tak kuasa menahannya. Maka jatuh sakitlah ia. Lima hari lima malam ia demam tinggi. Hanya meringkuk didalam kamarnya bersama sang boneka beruang kesayangan. Sudah dua kali sang ibu membawanya ke mantri untuk berobat. Namun bukanlah obat yang dapat menyembuhkannya. Melainkan hadirnya sang ayah di dalam masa kecilnya yang nyaris terenggut. Menangislah sang ibu setiap malam. Berdoa sambil menatap sang dewi malam, berharap akan adanya keajaiban.
            Suatu siang yang panas, diketuklah pintu rumah. Sang ibu menyambut wali kelas dan teman-teman Banu yang membesuknya. Membawa bingkisan kue dan buah-buahan. Sang ibu tersenyum, karena mempunyai sesuatu yang bisa dimakan malam itu. Karena lima hari itu jua ia tidak nyuci, hanya merawat anaknya. Uangnya habis untuk berobat. Mendiang sang suami mati tanpa meninggalkan warisan. Keluarga dari suaminya sudah tidak menganggapnya lagi. Sementara ia yang dulunya sebatang kara, mengais rejeki dari pakaian kotor. Demi sesuap nasi yang mengenyangkan anaknya.
            Selang beberapa minggu setelah kesembuhan Banu. Bukan menjadi alasan untuknya tidak merindu akan sang ayah. Membuat sang ibu terus berlarut-larut dalam kesedihannya. Melihat sang anak tidak jua ceria. Maka jatuh sakitlah ia. Para tetangga membopongnya kerumah karena pingsan ketika mencuci di tempat bayan. Satu minggu penuh sang ibu hanya berbaring lemas di ranjangnya. Tidak ada yang membawanya berobat.
            “Bu, Banu lapar. Kita makan apa?” Pertanyaan yang tidak digubris sang ibu sedikitpun. Seolah hilang kesadaran, sang ibu hanya menatapnya tanpa suara. Sudah seminggu jua sang ibu tidak memasak untuk anaknya. Setiap hari, sang anak datang kerumah tetangga dan berharap akan disuruh makan. Tapi tidak saat itu, karena memang sedang hujan.
            Hujan deras dan guntur yang menyambar, seolah menjadi musik sore untuk ibu dan anak itu. Banu yang duduk manis disamping ibunya, menatap sang ibu yang berbaring dengan pandangan kosong ke atap. Mengalirlah air mata Banu, tak kuasa melihat ibunya seperti itu.
            “Nak, apa kau masih merindukan ayahmu?” tanya sang ibu tiba-tiba, memecah keheningan hujan. Banu hanya mengangguk namun tidak sesemangat biasanya. Sang ibu membelai rambut anaknya dengan penuh kasih. “Nak, ibu akan menyusul ayahmu. Lalu memintanya untuk pulang. Dan bisa bermain layang-layang lagi bersamamu.”
            “Benarkah?” Banu tersenyum dalam kesedihannya. “Tapi ibu tidak akan lama, ‘kan? Ibu mau berangkat sekarang?” Diciumlah pipi Banu dengan bibir basah ibunya. Lalu dipeluklah sang ibu olehnya. “Tapi bu, diluar hujan. Nanti ibu bisa demam. Kalau ibu memaksa, Banu tidak kuasa melarang. Namun ibu harus kembali besok pagi, ya?”
            Sang ibu tersenyum bahagia melihat anaknya tidak bersedih lagi. Melihat ada sebuah harapan di wajahnya. Lalu ia raih boneka beruang sang anak, ia dekap erat sambil memaksa tersenyum walau menahan sakit. Perlahan tapi pasti, mata sang ibu mulai terpejam. Meninggalkan sebuah pertanyaan di benak Banu.
            “Ibu kenapa tidur? Katanya mau menyusul ayah?” Tidak ada jawaban dari sang ibu. Banu hanya menatap ibunya dengan kecewa. “Ibu lelah, ya? Banu pijit ibu. Ibu susul ayah besok saja kalau hujan sudah reda dan sang raja siang sudah kembali ke peraduannya.” Lalu dipijitlah lengan sang ibu. Semalam suntuk Banu habiskan untuk memijit tubuh ibunya.
            Mulai saat itulah Banu kecil menjadi pemurung. Tidak mau berbicara kepada siapapun. Hanya tinggal seorang diri didalam rumah sederhananya bersama sang boneka beruang kesayangannya. Tetangganya berbaik hati untuk mengajaknya tinggal dirumah mereka. Namun ditolaklah ajakan itu. Murung, murung dan murung. Ia habiskan harinya dua tahun terakhir hanya dengan murung bersama boneka beruangnya. Sedikitpun, ia tidak mau keluar dari rumahnya. Tidak ada sanak saudaranya yang masih ingat akan adanya. Hanya tetangganya yang baik hati, mengantarkan makanan untuknya setiap harinya. Dan juga mencucikan baju-bajunya.
            Banu kecil meringkuk diatas lantai kayu rumahnya yang berdebu tebal. Memeluk sang boneka beruang dengan penuh rindu. Air mata menetes membasahi lantai, membuat genangan kecil di debu. Ditatapnyalah kedua mata sang boneka beruang. Mata kirinya yang pecah dan tinggal separuh, menggambarkan hatinya yang gelisah dan penuh rindu. Menantikan datangnya sosok ibu dan ayah yang tidak kunjung pulang. Mata kanan yang masih utuh, menggambarkan kekokohan hatinya. Yakin dan teguh bahwa kedua orang tuanya akan kembali ke rumah suatu saat nanti. Lalu bergetarlah bibirnya. Rintihan penuh harapan yang selalu mengisi hari-harinya, hingga kelak ia beranjak dewasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment